Air Terjun Sedudo berada di ketinggianan 1.438 meter di atas permukaan laut (dpl) di sisi timur kawasan Gunung Wilis, dengan ketinggian air terjun sekitar 105 meter.
Air terjun Sedudo sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang mana air terjun ini diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari kahyangan.
Bahkan Para Raja, Bangsawan dan Pendeta pada jaman itu sering mempergunakan untuk upacara ritual, yaitu memandikan arca atau senjata pusaka dalam upacara Parna Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda.
Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro bulan Sura (kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit pada bulan itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.
Dulu kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki Ageng Ngaliman, tokoh pelopor penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara ritual selalu digelar. Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu diisi dengan acara iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat Jawa, berjalan perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air terjun.
Mereka percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya mengalir di Sedudo, bersumber dari tempat keramat, yakni tempat di mana para dewa bersemayam. Tak heran, ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau biasa dikenal malam 1 Suro oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu memadati Sedudo. Di tengah dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi beramai-ramai di kolamnya.
Aspek sejarah lain, khususnya tentang pemanfaatan Sedudo oleh kalangan raja dan ulama di zaman Kerajaan Majapahit dan kejayaan Islam, sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat tentang khasiat air terjun tersebut. Di jaman Majapahit Sedudo sering digunakan untuk mencuci senjata pusaka milik raja dan patih dalam Prana Pratista. Sementara di zaman kerajaan Islam, Sedudo sangat dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman.
Air terjun Sedudo sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang mana air terjun ini diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari kahyangan.
Bahkan Para Raja, Bangsawan dan Pendeta pada jaman itu sering mempergunakan untuk upacara ritual, yaitu memandikan arca atau senjata pusaka dalam upacara Parna Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda.
Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro bulan Sura (kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit pada bulan itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.
Dulu kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki Ageng Ngaliman, tokoh pelopor penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara ritual selalu digelar. Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu diisi dengan acara iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat Jawa, berjalan perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air terjun.
Mereka percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya mengalir di Sedudo, bersumber dari tempat keramat, yakni tempat di mana para dewa bersemayam. Tak heran, ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau biasa dikenal malam 1 Suro oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu memadati Sedudo. Di tengah dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi beramai-ramai di kolamnya.
Aspek sejarah lain, khususnya tentang pemanfaatan Sedudo oleh kalangan raja dan ulama di zaman Kerajaan Majapahit dan kejayaan Islam, sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat tentang khasiat air terjun tersebut. Di jaman Majapahit Sedudo sering digunakan untuk mencuci senjata pusaka milik raja dan patih dalam Prana Pratista. Sementara di zaman kerajaan Islam, Sedudo sangat dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman.
Posting Komentar